Selasa, 29 Maret 2016

Individu Berkebutuhan Khusus Tuna Daksa

PROBLEM DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNADAKSA

MATA KULIAH : Individu Berkebutuhan Khusus

TAHUN AKADEMIK 2014/2015




Disusun Oleh :

DYAH EKO SUSILOWATI
1301015040







PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2015




KATA PENGANTAR
                                           
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun Makalah yang merupakan tugas akhir yang diberikan oleh dosen pembimbing Mata Kuliah Individu Berkebutuhan Khusus.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr. Titiek Haryati M.Pd dan Bapak Said Akhmad Maulana S,Pd sebagai Dosen Pembimbing Mata Kuliah Individu Berkebutuhan Khusus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka Jakarta, yang telah membimbing penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Terima kasih penulis sampaikan pula kepada orang tua penulis, yang dalam kerinduan selalu memberi motivasi belajar kepada penulis, juga tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang memberikan semangatnya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan penulisan ini sangat sederhana dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan penulisan ini.




Jakarta, 8 Juni 2015



Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Organ tubuh manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mobilitas. Dengan organ tubuh tersebut, manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik secara parsial maupun integral bersama organ sensoris lainnya.
Apabila fungsi anggota tubuh mengalami gangguan, baik sebagian atau keseluruhan yang disebabkan oleh luka pada bagian saraf otak, kelainan pertumbuhan, ataupun amputasi, akan mempengaruhi mobilitas hidup yang bersangkutan.
Sehingga dirasa perlu untuk memberikan pelayanan khusus pada penderita kelainan fungsi anggota tubuh (Tunadaksa) yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam rangka memberdayakan kemampuannya secara optimal.
Banyak masyarakat awam yang belum memahami seperti apa penderita Tunadaksa sebagai salah satu jenis anak berkekurangan dalam konteks Bimbingan dan Konseling sehingga banyak yang masih mempermasalahkan. Munculnya permasalahan tersebut terkait dengan asumsi bahwa anak Tunadaksa (kehilangan salah satu atau lebih fungsi anggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak mengalami kesulitan untuk meniti tugas perkembangannya tanpa harus masuk sekolah khusus untuk anak Tunadaksa (khususnya Tunadaksa ringan).
Oleh karena itu perlu adanya pengetahuan yang cukup kepada masyarakat awam tentang bagaimanakah ketunadaksaan dalam segala aspek dalam kehidupan. Seperti apakah ciri-ciri anak yang mengalami ketunadaksaan, apa sajakah penyebabnya sehingga seminimal mungkin dapat dihindari, bagaimana permasalahan/problem anak Tunadaksa dan bagaimanakah kita dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensi mereka tanpa melihat kekurangan fisiknya. Didalam makalah ini akan dibahas secara lebih detail.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Tunadaksa?
2.      Apa sajakah jenis kecacatan Tunadaksa?
3.      Bagaimanakah klasifikasi Tunadaksa?
4.      Apa penyebab dari Tunadaksa?
5.      Bagaimanakah karakteristik dan problem anak dengan ketunadaksaan?
6.      Bagaimana kebutuhan pendidikan anak Tunadaksa?
7.      Bagaimana implikasi pendidikan anak Tunadaksa?
8.      Bagaimana model pelayanan pendidikan bagi Tunadaksa?

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Tunadaksa
2.      Untuk mengetahui jenis kecacatan pada Tunadaksa
3.      Untuk mengetahui klasifikasi Tunadaksa
4.      Untuk mengetahui penyebab dari Tunadaksa
5.      Untuk mengetahui karakteristik dan problem anak dengan ketunadaksaan
6.      Untuk mengetahui kebutuhan pendidikan bagi anaka Tunadaksa
7.      Untuk mengetahui implikasi pendidikan bagi anak Tunadaksa
8.      Untuk mengetahui model pelayanan pendidikan bagi anak Tunadaksa






BAB II
PEMBAHASAN

2.1  PENGERTIAN ANAK TUNADAKSA
Istilah Tunadaksa berasal dari kata “Tuna” yang berarti rugi atau kurang dan “Daksa” yang berarti tubuh. Jadi Tunadaksa ditunjukkan kepada mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Sehingkan istilah cacat tubuh di maksudkan untuk menyebt mereka yang memiliki cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat pada inderanya.
Anak Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian karena kecelakaan, kongenital, dan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku, dan adaptasi, sehingga mereka memerlukan layanan Pendidikan Khusus. Tunadaksa disebut juga cacat tubuh atau cacat ortopedi.
Istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak Tunadaksa seperti cacat fisik, tubh atau cacat orthopedic. Dalam bahasa asingpun sering kali dijumpai istilah crippled, physically handicapped, physically disabled dan lain sebagainya. Keragaman istilah yang dikemukakan untuk menyebutkan Tunadaksa tergantung dari kesenangan atau alasan tertentu dari para ahli bersangkutan. Meskipun istilah makna yang sama.
Tunadaksa berasal dari kata “Tuna” yang berarti rugi, kurang dan “daksa” berarti tubuh. Dalam banyak literature cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and Health Impairments” (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan. Sebagai contoh, otak adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada sesuatu yang salah pada otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, menyebabkan retardasi dari mental (tunagrahita).
Senada dengan pengertian tunadaksa di atas, Sugiamin dan Muslim dalam repository.usu.ac.id (2012) mengemukakan bahwa: “Istilah tunadaksa merupakan istilah lain dari cacat tubuh atau tuna fisik, yaitu berbagai kelainan bentuk tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhkan”.
Sesangkan menurut Somantri dalam www.file.upi.edu/Direktori/FIP, 2012 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Tunadaksa adalah suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dalam buku pedoman pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh direktorat PLB (2004), definisi tunadaksa diartikan sebagai berikut: “anak yang mengalami kelainan atau cacat menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus, untuk mencapai kemampuan yang optimal.”
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan dari segi fisik atau hilangnya salah satu anggota tubuh atau memiliki kekakuan atau kelumpuhan dalam melakukan gerakan baik tulang, otot dan atau persendian sehingga menghambat mereka dalam beraktivitas.


2.2  JENIS KECACATAN ANAK TUNADAKSA

a.       Cacat Fisiknya saja
Tingkat kecerdasannya normal, sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal.
b.      Cacat Fisik disertai gangguan kecerdasan, bicara, perilaku, dll (Cacat Ganda)
Tingkat kecerdasannya berentang, kelainannya sangat bervariasi, dan sangat kompleks. Layanan pendidikannya perlu secara individual.




2.3  KLASIFIKASI ANAK TUNADAKSA

1.      Klasifikasi dilihat dari sistem kelainannya:
1)      Kelainan pada Sistem Cerebral: Cerebral Palsy
Cerebral Palsy adalah suatu kelainan gerak, postur, atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, dan kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada masa perkembangan otak.
Klasifikasi Cerebral Palsy:
a)      Penggolongan menurut Derajat Kecacatan:
a.       Golongan Ringan
Mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Golongan Sedang
Mereka yang Mereka yang membutuhkan treatment atau latihan khusus untuk berbicara, berjalan dan mengurus dirinya sendiri, memerlukan alat khusus seperti brace, krutch, dsb.
c.       Golongan Berat
Mereka yang tetap membutuhkan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong dirinya sendiri, tdak dapat hidup sendiri di tengah masyarakat
b)      Penggolongan menurut Topografi (banyaknya anggota tubuh yang lumpuh)
a.       Monoplegia: Hanya satu anggota geraknya yang lumpuh
b.      Hemiplegia: Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan dan kaki kanan
c.       Paraplegia: Lumpuh pada kedua tangan atau kedua kaki
d.      Triplegia: Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tanagn kanan dan kedua kakinya lumpuh
e.       Quadriplegia/Tetraplegia: Kelumpuhan pada seluruh anggota gerak

2)      Penggolongan menurut Fisiologi, Kelainan Gerak:
a)      Spastik: Terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh otot-ototnya dan juga kekakuan pada otot-otot organ bicaranya
b)      Dyskenisia: Tidak adanya control dan koordinasi gerak seperti: Athetosis, Rigid, Hipotonia, dan Tremor
c)      Athetosis: Terdapat gerakan-gerakan yang tidak terkontrol yang terjadi sewaktu-waktu dan tidak dapat dicegah otomatis
d)     Rigid: Ada kekakuan pada seluruh anggota gerak, tangan dan kaki sulit dibengkokkan, leher dan punggung hipereksistensi
e)      Hipotonia (Atonia): Tidak ada keteganagan otot, ototnya tidak mampu merespon rangsangan yang diberikan
f)       Tremor: Ada getaran-getaran kecil (Ritmis) yang terus menerus pada mata, tanagn, atau kepala
g)      Ataxia: Ada gangguan keseimbangan, langkahnya seperti orang mabuk, kadang terlalu lebar atau terlalu pendek, jalannya gontai, pada saat mengambil suatu barang sering terjadi salah perhitungan
h)      Mixed (Campuran)

3)      Kelainan pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Skeletal System)
a)      Poliomyelitis: Suatu infeksi penyakit pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio. Akibatnya berupa kelumpuhan yang sifatnya permanen, kecerdasannya normal
Ada tiga Type Polio:
a.       Type Spinal: Yaitu kelayuhannya pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
b.      Type Bulbair: Yaitu kelumpuhan fungsi motoric atau lebih saraf tepi, ditandai dengan adanya ganggan pernafasan
c.       Type Bulbospinal: Yaitu gabungan dari keduanya
b)      Muscle Dystrophy
Penyakit otot yang mengakibatkan otot tidak dapat berkembang, kelumpuhannya bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki
Ada dua tipe Muscle Dystrophy:
a.       Tyoe Duchenne: Hanya dijumpai pada anak laki-laki, kelumpuhannya terdapat pada otot pinggang, bahu, kaki dan tangan. Jarang berusia sampai remaja
b.      Type Fasio Scapulo Humeral: Dijumpai pada anak laki-laki dan perempuan, kelumpuhannya lebih mencolok pada otot bahu dan tangan ketimbang otot kiri dan wajah

c)      Spina Bifida
Kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tlang belakangnya disebabkan oleh tidak tertutupnya kembali ruas tulang belakangnya selama proses perkembangan terjadi. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan
Ada tiga jenis Spina Bifida, yaitu:
a.       Spina Bifida Occulata: Spinal Cord-nya tidak mengalami penonjolan. Satu atau lebih ruas belakang terbuka (tidak berbentuk)
b.      Meningocele: Bentuk Spina Bifida yang ditandai dengan penonjolan punggung pada bagian tulang belakang yang terkena tumor. Benjolannya berisi cairan Spinal yang tidak mengakibatkan kelumpuhan
c.       Myelomeningocele: Kelainannya paling berat karena benjolan pada ruas tulang belakang menimbulkan kerusakan saraf. Sering mengalami kelumpuhan pada kaki, organ saluran kencing, merasa nyeri, da nada yang Hydrocephalus

4)      Kelainan Ortopedi karena Bawaan (Congenital Deformitie)
a)      Cacat Bawaan pada Anggota Gerak Atas:
a.       Syndactilus: Jari tangan kurang dari lima atau tidak memiliki jari-jari tangan
b.      Plydactilus: Lahir dengan jumlah jari tangan lebih dari lima
c.       Sprengel Disease: Scapula Meninggi dan Terputar
d.      Torticollis: Leher miring ke kiri atau ke kanan, otot lehernya tegang sebelah, wajah dan mata tidak simetris
b)      Cacat Bawaan pada Anggota Gerak Bawah
a.       Dislokasi Pinggul: Disebabkan oleh pertumbuhan otot sendi pangkal paha tidak sehat sehingga kepala sendi tidak dapat masuk ke dalam mangkok sendi
b.      Genure Curvatum: Lutut bengkok kebelakang berbihan
c.       Cacat Pseudo Oarthsis: Antar lutut dan mata kaki ada sendi lagi
d.   Club Foot: Talipes (Pes) Planus atau Plat Foot (telapak kaki datar), Pescalcaneus (kaki bagian depan terangkat), Pescavus (kaki bagian tengah terangkat)
2.      Klasifikasi Tuna Daksa Dilihat dari Faktor Penyebabnya:
1)      Cacat Bawaan: Sudah terjadi pada saat dalam kandungan atau saat anak dilahirkan
2)      Infeksi: Dapat menyebabkan kelainan pada anggota gerak atau bagian tubuh lainnya
3)      Gangguan Metabolisme: Dapat terjadi pada bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor gizi sehingga mempengaruhi perkembangan tubuh dan mengakibatkan kelainan pada sistem dan fungsi intelektual
4)      Kecelakaan atau Trauma: Dapat mengakibatkan kelainan Ortopedi berupa kelainan Koordinasi, Mobilisasi, dll.
5)      Penyakit yang Progresif: Diperoleh melalui genetika atau karena penyakit, misalnya DMP (Dystrophia Musculorum Progressive)
6)      Tunadaksa yang tidak diketahui penyebabnya


2.4  PENYEBAB TUNADAKSA
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi Tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skreletal. Adanya keragaman jenis Tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa asebelum lahir, saat lahir dan sesudah lahir.
1.      Sebab-Sebab Sebelum Lahir (Fase Prenatal)
Pada fase, kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan disebaban oleh:
a.     Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi yang dikandungnya, misalnya infeksi, syphilis, rubella, dan thyphus abdominolis.
b.      Kelainan kandungan yang disebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak
c.   Bayi dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan terganggunya pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka dapat merusak sistem syaraf pusat.

2.      Sebab-sebab pada saat kelahiran (fase natal, prenatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara lain:
a.       Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya sistem metabolism dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami kerusakan.
b.   Pemakaina alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
c.       Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur maupun fungsinya.

3.      Sebab-sebab setelah proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembanagn otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a.       Kecelakaan/trauma kepala, amputasi.
b.      Infeksi penyakit yang menyerang otak
c.       Anoxia/hypoxia
Merupakan kondisi ketidakcukupan oksigen dalam tubh, dari gas yang diinspirasi ke jaringan. Hal ini berhubungan dengan 3 bagian/proses respirasi, yaitu: ventilasi, difusi gas, atau transportasi gas oleh darah, dan dapat disebabkan oleh satu atau lebih perubahan kondisi pada proses tersebut.



2.5  KARAKTERISTIK DAN PROBLEM ANAK TUNADAKSA
Derajat keturunan akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan, kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah padahalnya dengan tingkah laku anak Tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Jenis kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompenasi akan kekurangan atau kecacatan.
Ditinjau dari aspek psikologis, anak Tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan sensitif, memisahkan diri dari lingkungan. Disamping karakteristik tersebut, terdapat beberapa problem penyerta bagi anak Tunadaksa antara lain:
a.       Kelainan perkembangan/Intelektual.
b.      Gangguan pendengaran.
c.       Gangguan penglighatan.
d.      Gangguan taktik dan kinestetik.
e.       Gangguan persepsi.
f.       Gangguan emosi.
Karakteristik anak Tunadaksa diantaranya:
1.      Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak Tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak Tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiot sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya bekercerdasan sedikit dibawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat elainan fisik dan kecerdasan anak. Artinya, anak Cerebral Palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak Cerebral Palsy juga mengalami kelainan persepsi, kongnisi dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kongnisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa serta akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.

2.      Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak Tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban bagi orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermin dan perilaku salah sesuai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan peibadi anak. Kegiatan jasmani yang dapat dilakukan oleh anak Tunadaksa dapat mengakibatkan timblnya problem emosi, seperti mudah tersinggubg, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, penyendiri dan frustasi. Problem emosi itu, banyak ditemukan pada anak Tunadaksa dengan gangguan sistem Cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

3.      Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak Tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak Tunadaksa sistem Cerebral. Ganguan bicara disebabkan oleh gangguan motoric alat bicara (kaku atau lumpuh) seperti lidah, bibir dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena oran reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasiamotorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak Cerebral Palsy mengalami kerusakan pada pyramidaltract dan extrapyramidal. Berfungsi mengatur sistem motoric. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan sulit berpindah tempat. Dilihat daei aktivitas motoric, intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah, hipoaktif, yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespon rangsangan yang diberikan, dan tidak ada koordinas, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkn integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar dan menari.

2.6  KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA

1.      Tujuan Pendidikan Anak Tunadaksa bersifat ganda (Dual Purpose), yaitu:
1)      Berhubungan dengan aspek Rehabilitasi dan Pengembangan Fungsi Fisik, tujuannya adalah untuk mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat langsung atau tidak langsung dari kecacatannya.
2)      Berkaitan dengan Pendidikan, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan peserta didik agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (UU No.2 tahun 1989 tentang USPN dan PP No.72 tentang PLB).
Connor (1975) mengemukakan sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan pada diri masing-masing anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
a.       Pengembangan Intelektual dan Akademik
b.      Membantu Perkembangan Fisik
c.       Meningkatkan Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri anak
d.      Mematangkan Aspek Sosial
e.       Mematangkan Moral dan Spiritual
f.       Meningkatkan Ekspresi Diri
g.      Mempersiapkan Masa Depan Anak

2.      Prinsip Dasar Program Pendidikan Anak Tunadaksa meliputi:
1)      Keseluruhan Anak (All The Children)
2)      Kenyataan (Reality)
3)      Program yang Dinamis (A Dynamic Program)
4)      Kesempatan yang sama (Equaliy of Opportunity)
5)      Kerjasama (Cooperative)

3.      Prinsip Pendidikan anak Tunadaksa yang berbeda dengan anak normal, yaitu:
1)      Prinsip Multisensori
2)      Prinsip Individualisasi

4.      Prinsip Prinsip Belajar Mengajar:
1)      Motivasi
2)      Perhatian

5.      Pembelajaran di Sekolah
1) Perencanaan Kegiatan Belajar Mengajar: Program Pendidikan yang di individualisasikan
2)      Prinsip Pembelajaran: Prinsip Multisensori dan Individualisasi
3)      Penataan Lingkungan Belajar: Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan: mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian
4)      Personil: Guru PLB, Guru Reguler, Dokter Ahli Anak, Dokter Rehabilitasi, Dokter Ahli Orthopedi, Dokter Ahli Syaraf, Psikolog, Guru Bimbingan dan Konseling, Social Worker, Fisiotherapist, Occupational Therapist, Speech Therapist, Orthotic dan Prosthetic.


6.      Pertimbangan Penempatan Pendidikan
1)      Tingkat kemampuan Intelektual dan Kecacatan Fisik Anak
2)      Kemampuan mengadakan Penyesuaian Emosi
3)      Lokasi tempat tinggal dengan sekolah
4)      Latar belakang dan hubungan sosial dalam keluarga

7.      Program Penempatan Pendidikan
1)      Munawir Yusuf (Dalam JRR No. 5 TH2 April-Juni 1993) menggambarkan Program Penempatan Pendidikaan Anak Luar Biasa pada umumnya, dan anak Tunadaksa pada khususnya ke dalam beberapa kemungkinan, yang kesemuanya sangat tergantung pada kemampuan dan ketidakmampuan anak dan lingkungannya, yaitu anak dapat ditempatkan:
a)      Dikelas biasa
b)      Dikelas biasa dengan tambahan Bimbingan Khusus oleh guru kelas
c)      Dikelas biasa sebagian hari
d)     Dikelas Khusus sebagian hari dan kelas regular untuk sebagaian hari yang lain
e)      Dikelas Khusus sepanjang hari, dan
f)       Memperoleh pelayanan pendidikan di tempat tinggal anak sepanjang waktu
g)      Hal tersebut menunjukkan bahwa hasil assesmen berguna untuk pembuatan program penempatan pendidikan anak
2)      Program Layanan Rehabilitasi
Pendidikan bagi anak Tunadaksa yang edial, Lembaga Pendidikannya memiliki beberapa tenaga ahli yang tergabung dan bekerja sebagai suatu tim Rehabilitasi. Viola E. Cardwell (1963) memberikan gambaran anggota tim Rehabilitasi di suatu lembaga yang mendidik anak Tunadaksa (yang ideal) terdiri dari:
a)      Physical Therapist
b)      Occupational Therapist
c)      Audiologist, Speech and Hearing Therapist
d)     Social Worker AND Recreational Therapist
e)      Psychologist
f)       Teacher of Special Education
g)      Vocational Counselor
h)      Medical Social Worker
i)        Nurce for Activity of Daily Living
j)        Kerja tim Rehabilitasi adalah mencakup perencanaan Program, Pelaksanaan dan Evaluasi Program sesuai dengan bidang keahlian masing-masing
k)      Hasil Assesmen yang dilakukan pada awal program, besar peranannya dalam pembuatan keputusan untuk program rehabilitasi anak

8.      Pengembangan Program Pendidikan yang di Individualkan
         Menurut Ronaldl Taylor (1984), apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan di sekolah formal, maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang diindividualkan (IEP) atau PPI. Dalam rangka pengembangan IEP, banyak informasi/data yang diperlukan, salah satunya adalah yang dihasilkan dari kegiatan Assesmen.
         Menurut Mulyono (1993, Dalam JRR No. 5 TH.2 April-Juni 1993) langkah-langkah utama dalam merancang suatu IEP meliputi:
1)      Membentuk Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualkan (TP3I)
2)      Menulai Kekuatan dan Kelemahan serta minat
3)      Mengembangakan tujuan-tujuan jangka panjang (Longrange or Annual Goals) dan sasaran-sasaran jangka pendek (Short-Term Objectives)
4)      Merancang metode dan prosedur pencapaina tujuan,
5)      Menentukan metode evaluasi kemajuan.

9.      Assesmen Anak Tunadaksa
         Yang dimaksud dengan Assesmen adalah proses pengumpulan informasi/data tentang penampilan individu yang relevan untuk pembuatan keputusan (Ronaldl. Taylor, 1984), baik yang dilakukan oleh guru umum (regular-education teacher), guru pendidikan khusus, Psikolog Pendidikan, Spesialis, Terapis dan Personal lain yang berkepentingan dengan program pendidikan anak.
         Menurut Ronaldl. Taylor, program-program di bidang pendidikan yang memerlukan informasi dan harus disediakan melalui kegiatan Assesmen adalah:
1)      Identitas Anak
2)      Program dan Strategi Pengajaran
3)      Tingkat Keampuan dan Kebutuhan Pendidikan Anak
4)      Klasifikasi dan Program-Program Penempatan Anak
5)      Perencanaan pengajaran individual
Tujuan Assesmen bagi anak Tunadaksa, adalah untuk mengenal dan memahami anak tuna daksa termasuk tentang kemampuan dan ketidakmampuan anak baik fisik maupun mental dan lingkungannya. Kegunaan dari hasil Assesmen adalah untuk:
a)Klasifikasi, Identifikasi dan Data Dasar Anak
b)      Pembuatan keputusan program penempatan pendidikan anak
c)Pembuatan Keputusan Program Rehabilitasi
d)     Pengembangan Program Pengajaran Individual
e)Arah dan kegunaan hasil Assesmen adalah untuk uaha-usaha prevetif, kuratif dan evaluative serta pengembangan anak Tunadaksa.
Aspek/Domain yang menjadi obyek kegiatan Assesmen dalam Pendidkan anak Tunadaksa yaitu:
a)Identitas anak Tunadaksa
b)      Riwayat anak, meliputi: riwayat pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan, kesehatan
c)Kondisi dan Kemampuan Fisik anak, meliputi:
a.       Keadaan Fisik anak
b.      Kemampuan melakukan kegiatan sehri hari, seperti: kegiatan ditempat tidur, dengan kursi roda, duduk dan berdiri, berjalan, berpergian, makan, berpakaian, perawatan diri
c.       Kemampuan Koordinasi, meliputi: Koordinasi mata dengan tangan, mata dengan kaki
d)     Kondisi dan Kemampuan Psikis anak, meliputi:
a.       Tingkat Intelegensi
b.      Sikap dan Kehidupan Emosional
c.       Kepribadian Anak
d.      Bakat, Minat, Hobby, dan cita-cita
e)Aspek Sosial, yang meliputi:
a.       Identitas dan Kondisi Keluarga
b.      Sosialisasi Anak

2.7  IMPLIKASI PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA
Dalam dunia Pendidikan pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda. Disatu pihak, guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak lain, guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah. Dengan demikian secara tidak langsung mereka dituntut untuk menjadi manusia serba bisa dan serba biasa, lebih-lebih bila dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada saat ini, yaitu bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya masih mempunyai anggapan yang keliru. Mereka berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya pendidikan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk disalamnya para guru, tanpa ikut campur mereka.
Keadaan semacam ini lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus karena subjek yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu, baik kemampuan fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan pihak luar atau lingkungan sekitar. Oleh karena itu tuga guru semakin berat yang dituntut keahlian serta kterampilan tertentu, baik dalam bidang metodologi yang bersifat khusus maupun dalam pelayanan terapi
Pelayanan terapi yang diperlukan anak Tunadaksa antara lain:
a.       Latihan wicara (Speech Therapy)
b.      Fisioterapi
c.       Occupational  Theraphy
d.      Hydro Theraphy
Anak Tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik, mereka dapat makan, minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit yaitu bernafas. Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka memerlukan rasa aman dalam bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang dari orang lain, diterima dan perlu pendidikan. Adapun unsur kesamaan kebutuhan antara anak Tunadaksa dan anak normal, karena pada dasarnya mereka memiliki fitrah yang sama sebagai manusia. Pandangan yang melihat anak Tunadaksa dan anak normal dari sudut kesama anakan lebih memberikan laynan optimal untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi kekurangannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering melihat orang lain tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya demikian, andaikata kita melihat anak Tunadaksa semata-mata dari kecacatannya.
Oleh karena itu, pandanagan yang mendahulukan sifat positif pada anak Tunadaksa perlu dimasyarakatan supaya kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak Tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak Tunadaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak Tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.

2.8  MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA

Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan bagi anak tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab sebagian dari mereka (anak Tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di sekolah di kelas regular/sekolah umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan dan ketidakmampuan anak Tunadaksa dan lingkungannya. Evelyn Deno (1970) dan Ronald L Taylor (1984) menjelaskan sistem pendidikan bagi anak luar biasa (termasuk anak Tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan dikelas dan sekolah regular/umum sampai pendidikan yang diberikan disuatu rumah sakit, bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak memiliki makna edukasi sama sekali, yakni layanana yang diberikan kepada anak-anak Tunadaksa dalam perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari kenyataan di lapangan bahwa anak Tunadaksa memiliki problem penyerta. Problem penyerta ini berbeda-beda antara seorang anak Tunadaksa yang satu dengan anak Tunadaksa yang lainnya, tergantung daripada penyebab ketunaannya, berat ringannya ketunaannya. Atas dasar kondisi anak Tunadaksa tersebut, maka model pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus” dan “Sekolah Terpadu/Inklusi”.
1.      Sekolah Khusus
Pelayanan pendidikan bagi anak Tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan bagi anak yang memiliki problema lebih berat, baik problema penyerta intelektualnya seperti retardasi mental maupun problema penyerta kesulitan lokomosi (gerakan) dan emosinya. Di sekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua unit, yaitu unit sekolah khusus bagi anak Tunadaksa ringan dan unit sekolah khusus bagi anak Tunadaksa sedang.
a.       Sekolah Khusus untuk anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan pendidikan di unit Tunadaksa rigan atau SLB-D diperlukan bagi anak Tunadaksa yang tidak mempunyai problem penyerta retardasi mental, yaitu anak Tunadaksa yang mempunyai intelektual rata-rata atau bahkan diatas rata-rata intelektual anak normal. Namun anak kelompok ini belu ditempatkan di sekolah terpadu/ sekolah umum karena anak masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisioterapi, speech theraphy, occupational theraphy dan atau terapi yang lain. dapat juga terjadi anak Tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah regular karena derajat kecacatannya terlalu berat
b.      Sekolah Khusus untuk anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan pendidikan di unit ini, diperuntukkan bagi anak Tunadaksa yang mempunyai problem seperti emosi, persepsi atau campuran dari ketiganya disertai problema penyerta retardasi mental. Kelompok anak Tunadaksa sedang ini mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak normal.

2.      Sekolah Terpadu/Inklusi
Bagi anak Tunadaksa dengan problem penyerta relatif ringan, dan tidak disertai dengan problem penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini mungkin pelayanan pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah regular/ sekolah umum. Karena anak Tunadaksa tersebut sudah dapat mengatasi problem fisik maupun intelektual serta emosionalnya. Namun walaupun kondisi penyerta anak Tunadaksa cukup ringan, sekolah regular yang ditunjuk untuk melayani pendidikannya perlu persiapan yang matangterlebih dahulu, baik persiapan sarana maupun prasarananya. Seperti persiapan aksesibilitas misalnya meminimalkan trap-trap atau tangga-tangga. Jika memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan kondisi anak. Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga tidak menimbulkan problem tambahan bagi anak Tunadaksa. Juga bentuk toilet, kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda. Disamping itu sistem guru kunkung dapat membantu memecahkan permasalahan yang mungkin timbul pada anak Tunadaksa di kemudian hari.



BAB III
PENUTUP


3.1  KESIMPULAN
Tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan dari segi fisik atau hilangnya salah satu anggota tubuh atau memiliki kekakuan atau kelumpuhan dalam melakukan gerakan baik tulang, otot, dan atau persendian sehingga menghambat mereka dalam beraktivitas. Pada dasarnya kelainan pada anak Tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral (Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System). Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak Tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak Tunadaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak Tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA

Rahardja, Djaja dan Sujarwanto. 2010. “Pengantar Pendidikan Luar Biasa”. Surabaya: UD. Mapan
Soemantri, Sutjihati. 1996. “Psikologi Anak Luar Biasa”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
http://library.gunadarma.ac.id/repository/files diunduh pada 4 Juni 2015 pukul 20.37

http://file.upi.edu/Direktori/FIP.JUR.PEND.LUAR.BIASA diunduh pada 4 Juni 2015 pukul 20:53