PROBLEM
DAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNADAKSA
MATA
KULIAH : Individu Berkebutuhan Khusus
TAHUN
AKADEMIK 2014/2015
Disusun
Oleh :
DYAH EKO
SUSILOWATI
1301015040
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2015
KATA PENGANTAR
Penulis
mengucapkan puji syukur
kehadirat Allah SWT, dengan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyusun Makalah yang
merupakan tugas akhir
yang diberikan oleh dosen
pembimbing Mata Kuliah Individu
Berkebutuhan Khusus.
Ucapan
terima kasih disampaikan kepada Ibu Dr.
Titiek
Haryati M.Pd dan Bapak Said Akhmad Maulana S,Pd sebagai
Dosen Pembimbing Mata Kuliah
Individu Berkebutuhan Khusus Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka Jakarta, yang telah membimbing
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Terima
kasih penulis sampaikan pula kepada orang tua penulis, yang dalam kerinduan
selalu memberi motivasi belajar kepada penulis, juga tidak lupa penulis mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman yang memberikan semangatnya.
Penulis
menyadari bahwa penyusunan penulisan ini sangat sederhana dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, Penulis
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan penulisan ini.
Jakarta,
8 Juni 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Organ
tubuh manusia memiliki peranan yang sangat penting untuk mobilitas. Dengan
organ tubuh tersebut, manusia dapat melengkapi dan merealisasikan segala
keinginan untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain, baik secara parsial
maupun integral bersama organ sensoris lainnya.
Apabila
fungsi anggota tubuh mengalami gangguan, baik sebagian atau keseluruhan yang
disebabkan oleh luka pada bagian saraf otak, kelainan pertumbuhan, ataupun
amputasi, akan mempengaruhi mobilitas hidup yang bersangkutan.
Sehingga
dirasa perlu untuk memberikan pelayanan khusus pada penderita kelainan fungsi
anggota tubuh (Tunadaksa) yang dapat memberikan kontribusi yang signifikan
dalam rangka memberdayakan kemampuannya secara optimal.
Banyak masyarakat awam yang belum memahami seperti apa penderita
Tunadaksa sebagai salah satu jenis anak berkekurangan dalam konteks Bimbingan
dan Konseling sehingga banyak yang masih mempermasalahkan. Munculnya
permasalahan tersebut terkait dengan asumsi bahwa anak Tunadaksa (kehilangan
salah satu atau lebih fungsi anggota tubuh) pada kenyataannya banyak yang tidak
mengalami kesulitan untuk meniti tugas perkembangannya tanpa harus masuk
sekolah khusus untuk anak Tunadaksa (khususnya Tunadaksa ringan).
Oleh
karena itu perlu adanya pengetahuan yang cukup kepada masyarakat awam tentang
bagaimanakah ketunadaksaan dalam segala aspek dalam kehidupan. Seperti apakah
ciri-ciri anak yang mengalami ketunadaksaan, apa sajakah penyebabnya sehingga
seminimal mungkin dapat dihindari, bagaimana permasalahan/problem anak
Tunadaksa dan bagaimanakah kita dapat mengoptimalkan kemampuan dan potensi
mereka tanpa melihat kekurangan fisiknya. Didalam makalah ini akan dibahas
secara lebih detail.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang tersebut, dapat disimpulkan beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
pengertian Tunadaksa?
2. Apa
sajakah jenis kecacatan Tunadaksa?
3. Bagaimanakah
klasifikasi Tunadaksa?
4. Apa
penyebab dari Tunadaksa?
5. Bagaimanakah
karakteristik dan problem anak dengan ketunadaksaan?
6. Bagaimana
kebutuhan pendidikan anak Tunadaksa?
7. Bagaimana
implikasi pendidikan anak Tunadaksa?
8. Bagaimana
model pelayanan pendidikan bagi Tunadaksa?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pengertian dari Tunadaksa
2. Untuk
mengetahui jenis kecacatan pada Tunadaksa
3. Untuk
mengetahui klasifikasi Tunadaksa
4. Untuk
mengetahui penyebab dari Tunadaksa
5. Untuk
mengetahui karakteristik dan problem anak dengan ketunadaksaan
6. Untuk
mengetahui kebutuhan pendidikan bagi anaka Tunadaksa
7. Untuk
mengetahui implikasi pendidikan bagi anak Tunadaksa
8. Untuk
mengetahui model pelayanan pendidikan bagi anak Tunadaksa
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN ANAK TUNADAKSA
Istilah
Tunadaksa berasal dari kata “Tuna” yang berarti rugi atau kurang dan “Daksa”
yang berarti tubuh. Jadi Tunadaksa ditunjukkan kepada mereka yang memiliki
anggota tubuh tidak sempurna. Sehingkan istilah cacat tubuh di maksudkan untuk
menyebt mereka yang memiliki cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat pada
inderanya.
Anak Tunadaksa adalah anak yang
mengalami kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang, dan persendian
karena kecelakaan, kongenital, dan atau kerusakan otak yang dapat mengakibatkan
gangguan gerak, kecerdasan, komunikasi, persepsi, koordinasi, perilaku, dan
adaptasi, sehingga mereka memerlukan layanan Pendidikan Khusus. Tunadaksa
disebut juga cacat tubuh atau cacat ortopedi.
Istilah
yang sering digunakan untuk menyebut anak Tunadaksa seperti cacat fisik, tubh
atau cacat orthopedic. Dalam bahasa asingpun sering kali dijumpai istilah
crippled, physically handicapped, physically disabled dan lain sebagainya.
Keragaman istilah yang dikemukakan untuk menyebutkan Tunadaksa tergantung dari
kesenangan atau alasan tertentu dari para ahli bersangkutan. Meskipun istilah
makna yang sama.
Tunadaksa
berasal dari kata “Tuna” yang berarti rugi, kurang dan “daksa” berarti tubuh.
Dalam banyak literature cacat tubuh atau kerusakan tubuh tidak terlepas dari
pembahasan tentang kesehatan sehingga sering dijumpai judul “Physical and
Health Impairments” (kerusakan atau gangguan fisik dan kesehatan). Hal ini
disebabkan karena seringkali terdapat gangguan kesehatan. Sebagai contoh, otak
adalah pusat kontrol seluruh tubuh manusia. Apabila ada sesuatu yang salah pada
otak (luka atau infeksi), dapat mengakibatkan sesuatu pada fisik/tubuh, pada
emosi atau terhadap fungsi-fungsi mental, luka yang terjadi pada bagian otak
baik sebelum, pada saat, maupun sesudah kelahiran, menyebabkan retardasi dari mental
(tunagrahita).
Senada
dengan pengertian tunadaksa di atas, Sugiamin dan Muslim dalam
repository.usu.ac.id (2012) mengemukakan bahwa: “Istilah tunadaksa merupakan
istilah lain dari cacat tubuh atau tuna fisik, yaitu berbagai kelainan bentuk
tubuh yang mengakibatkan kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang
dibutuhkan”.
Sesangkan
menurut Somantri dalam www.file.upi.edu/Direktori/FIP, 2012 mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Tunadaksa adalah
suatu kondisi yang menghambat kegiatan individu sebagai akibat kerusakan atau
gangguan pada tulang dan otot, sehingga mengurangi kapasitas normal individu
untuk mengikuti pendidikan dan untuk berdiri sendiri.
Dalam
buku pedoman pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh direktorat PLB (2004),
definisi tunadaksa diartikan sebagai berikut: “anak yang mengalami
kelainan atau cacat menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian
rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus, untuk mencapai kemampuan
yang optimal.”
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa Tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan dari
segi fisik atau hilangnya salah satu anggota tubuh atau memiliki kekakuan atau
kelumpuhan dalam melakukan gerakan baik tulang, otot dan atau persendian
sehingga menghambat mereka dalam beraktivitas.
2.2 JENIS KECACATAN ANAK TUNADAKSA
a. Cacat
Fisiknya saja
Tingkat
kecerdasannya normal, sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak
normal.
b. Cacat
Fisik disertai gangguan kecerdasan, bicara, perilaku, dll (Cacat Ganda)
Tingkat
kecerdasannya berentang, kelainannya sangat bervariasi, dan sangat kompleks.
Layanan pendidikannya perlu secara individual.
2.3 KLASIFIKASI ANAK TUNADAKSA
1. Klasifikasi
dilihat dari sistem kelainannya:
1) Kelainan
pada Sistem Cerebral: Cerebral Palsy
Cerebral
Palsy adalah suatu kelainan gerak, postur, atau bentuk tubuh, gangguan
koordinasi, dan kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang
disebabkan oleh adanya kerusakan pada masa perkembangan otak.
Klasifikasi
Cerebral Palsy:
a) Penggolongan
menurut Derajat Kecacatan:
a. Golongan
Ringan
Mereka
yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat, berbicara tegas, dapat menolong
dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
b. Golongan
Sedang
Mereka
yang Mereka yang membutuhkan treatment atau
latihan khusus untuk berbicara, berjalan dan mengurus dirinya sendiri,
memerlukan alat khusus seperti brace, krutch, dsb.
c. Golongan
Berat
Mereka
yang tetap membutuhkan perawatan tetap dalam ambulansi, berbicara, dan menolong
dirinya sendiri, tdak dapat hidup sendiri di tengah masyarakat
b) Penggolongan
menurut Topografi (banyaknya anggota tubuh yang lumpuh)
a. Monoplegia:
Hanya satu anggota geraknya yang lumpuh
b. Hemiplegia:
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama, misalnya tangan kanan
dan kaki kanan
c. Paraplegia:
Lumpuh pada kedua tangan atau kedua kaki
d. Triplegia:
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tanagn kanan dan kedua
kakinya lumpuh
e. Quadriplegia/Tetraplegia:
Kelumpuhan pada seluruh anggota gerak
2) Penggolongan
menurut Fisiologi, Kelainan Gerak:
a) Spastik:
Terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh otot-ototnya dan juga kekakuan
pada otot-otot organ bicaranya
b) Dyskenisia:
Tidak adanya control dan koordinasi gerak seperti: Athetosis, Rigid, Hipotonia,
dan Tremor
c) Athetosis:
Terdapat gerakan-gerakan yang tidak terkontrol yang terjadi sewaktu-waktu dan
tidak dapat dicegah otomatis
d) Rigid:
Ada kekakuan pada seluruh anggota gerak, tangan dan kaki sulit dibengkokkan,
leher dan punggung hipereksistensi
e) Hipotonia
(Atonia): Tidak ada keteganagan otot, ototnya tidak mampu merespon rangsangan
yang diberikan
f) Tremor:
Ada getaran-getaran kecil (Ritmis) yang terus menerus pada mata, tanagn, atau
kepala
g) Ataxia:
Ada gangguan keseimbangan, langkahnya seperti orang mabuk, kadang terlalu lebar
atau terlalu pendek, jalannya gontai, pada saat mengambil suatu barang sering
terjadi salah perhitungan
h) Mixed
(Campuran)
3) Kelainan
pada Sistem Otot dan Rangka (Musculus Skeletal System)
a) Poliomyelitis:
Suatu infeksi penyakit pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus
polio. Akibatnya berupa kelumpuhan yang sifatnya permanen, kecerdasannya normal
Ada
tiga Type Polio:
a. Type
Spinal: Yaitu kelayuhannya pada otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
b. Type
Bulbair: Yaitu kelumpuhan fungsi motoric atau lebih saraf tepi, ditandai dengan
adanya ganggan pernafasan
c. Type
Bulbospinal: Yaitu gabungan dari keduanya
b) Muscle
Dystrophy
Penyakit
otot yang mengakibatkan otot tidak dapat berkembang, kelumpuhannya bersifat
simetris, yaitu pada kedua tangan atau kedua kaki
Ada
dua tipe Muscle Dystrophy:
a. Tyoe
Duchenne: Hanya dijumpai pada anak laki-laki, kelumpuhannya terdapat pada otot
pinggang, bahu, kaki dan tangan. Jarang berusia sampai remaja
b. Type
Fasio Scapulo Humeral: Dijumpai pada anak laki-laki dan perempuan,
kelumpuhannya lebih mencolok pada otot bahu dan tangan ketimbang otot kiri dan
wajah
c) Spina
Bifida
Kelainan
pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau tiga ruas tlang
belakangnya disebabkan oleh tidak tertutupnya kembali ruas tulang belakangnya
selama proses perkembangan terjadi. Akibatnya fungsi jaringan saraf terganggu
dan dapat mengakibatkan kelumpuhan
Ada
tiga jenis Spina Bifida, yaitu:
a. Spina
Bifida Occulata: Spinal Cord-nya tidak mengalami penonjolan. Satu atau lebih
ruas belakang terbuka (tidak berbentuk)
b. Meningocele:
Bentuk Spina Bifida yang ditandai dengan penonjolan punggung pada bagian tulang
belakang yang terkena tumor. Benjolannya berisi cairan Spinal yang tidak
mengakibatkan kelumpuhan
c. Myelomeningocele:
Kelainannya paling berat karena benjolan pada ruas tulang belakang menimbulkan
kerusakan saraf. Sering mengalami kelumpuhan pada kaki, organ saluran kencing,
merasa nyeri, da nada yang Hydrocephalus
4) Kelainan
Ortopedi karena Bawaan (Congenital
Deformitie)
a) Cacat
Bawaan pada Anggota Gerak Atas:
a. Syndactilus:
Jari tangan kurang dari lima atau tidak memiliki jari-jari tangan
b. Plydactilus:
Lahir dengan jumlah jari tangan lebih dari lima
c. Sprengel
Disease: Scapula Meninggi dan Terputar
d. Torticollis:
Leher miring ke kiri atau ke kanan, otot lehernya tegang sebelah, wajah dan
mata tidak simetris
b) Cacat
Bawaan pada Anggota Gerak Bawah
a. Dislokasi
Pinggul: Disebabkan oleh pertumbuhan otot sendi pangkal paha tidak sehat
sehingga kepala sendi tidak dapat masuk ke dalam mangkok sendi
b. Genure
Curvatum: Lutut bengkok kebelakang berbihan
c. Cacat
Pseudo Oarthsis: Antar lutut dan mata kaki ada sendi lagi
d. Club
Foot: Talipes (Pes) Planus atau Plat Foot (telapak kaki datar), Pescalcaneus
(kaki bagian depan terangkat), Pescavus (kaki bagian tengah terangkat)
2. Klasifikasi
Tuna Daksa Dilihat dari Faktor Penyebabnya:
1) Cacat
Bawaan: Sudah terjadi pada saat dalam kandungan atau saat anak dilahirkan
2) Infeksi:
Dapat menyebabkan kelainan pada anggota gerak atau bagian tubuh lainnya
3) Gangguan
Metabolisme: Dapat terjadi pada bayi dan anak-anak yang disebabkan oleh faktor
gizi sehingga mempengaruhi perkembangan tubuh dan mengakibatkan kelainan pada
sistem dan fungsi intelektual
4) Kecelakaan
atau Trauma: Dapat mengakibatkan kelainan Ortopedi berupa kelainan Koordinasi,
Mobilisasi, dll.
5) Penyakit
yang Progresif: Diperoleh melalui genetika atau karena penyakit, misalnya DMP
(Dystrophia Musculorum Progressive)
6) Tunadaksa
yang tidak diketahui penyebabnya
2.4 PENYEBAB TUNADAKSA
Ada
beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak hingga menjadi
Tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan
sumsum tulang belakang, pada sistem musculus skreletal. Adanya keragaman jenis
Tunadaksa dan masing-masing kerusakan timbulnya berbeda-beda. Dilihat dari saat
terjadinya kerusakan otak dapat terjadi pada masa asebelum lahir, saat lahir
dan sesudah lahir.
1. Sebab-Sebab
Sebelum Lahir (Fase Prenatal)
Pada
fase, kerusakan terjadi pada saat bayi masih dalam kandungan, kerusakan
disebaban oleh:
a. Infeksi
atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang otak bayi
yang dikandungnya, misalnya infeksi, syphilis, rubella, dan thyphus
abdominolis.
b. Kelainan
kandungan yang disebabkan peredaran terganggu, tali pusat tertekan, sehingga
merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak
c. Bayi
dalam kandungan terkena radiasi. Radiasi langsung mempengaruhi sistem syaraf
pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu
yang sedang mengandung mengalami trauma (kecelakaan) yang dapat mengakibatkan
terganggunya pembentukan syaraf pusat. Misalnya ibu jatuh dan perutnya
membentur yang cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi maka
dapat merusak sistem syaraf pusat.
2. Sebab-sebab
pada saat kelahiran (fase natal, prenatal)
Hal-hal
yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan antara
lain:
a. Proses
kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang ibu kecil sehingga bayi
mengalami kekurangan oksigen, kekurangan oksigen menyebabkan terganggunya
sistem metabolism dalam otak bayi, akibatnya jaringan syaraf pusat mengalami
kerusakan.
b. Pemakaina
alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan
sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
c. Pemakaian
anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi dan
menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem persyarafan
bayi, sehingga otak mengalami kelainan struktur maupun fungsinya.
3. Sebab-sebab
setelah proses kelahiran (fase post natal)
Fase
setelah kelahiran adalah masa mulai bayi dilahirkan sampai masa perkembanagn
otak dianggap selesai, yaitu pada usia 5 tahun. Hal-hal yang dapat menyebabkan
kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma
kepala, amputasi.
b. Infeksi
penyakit yang menyerang otak
c. Anoxia/hypoxia
Merupakan
kondisi ketidakcukupan oksigen dalam tubh, dari gas yang diinspirasi ke
jaringan. Hal ini berhubungan dengan 3 bagian/proses respirasi, yaitu:
ventilasi, difusi gas, atau transportasi gas oleh darah, dan dapat disebabkan
oleh satu atau lebih perubahan kondisi pada proses tersebut.
2.5 KARAKTERISTIK DAN PROBLEM ANAK
TUNADAKSA
Derajat
keturunan akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri dengan lingkungan,
kecenderungan untuk bersifat pasif. Demikianlah padahalnya dengan tingkah laku
anak Tunadaksa sangat dipengaruhi oleh jenis dan derajat keturunannya. Jenis
kecacatan itu akan dapat menimbulkan perubahan tingkah laku sebagai kompenasi
akan kekurangan atau kecacatan.
Ditinjau
dari aspek psikologis, anak Tunadaksa cenderung merasa malu, rendah diri dan
sensitif, memisahkan diri dari lingkungan. Disamping karakteristik tersebut,
terdapat beberapa problem penyerta bagi anak Tunadaksa antara lain:
a. Kelainan
perkembangan/Intelektual.
b. Gangguan
pendengaran.
c. Gangguan
penglighatan.
d. Gangguan
taktik dan kinestetik.
e. Gangguan
persepsi.
f. Gangguan
emosi.
Karakteristik
anak Tunadaksa diantaranya:
1. Karakteristik
Akademik
Pada
umumnya tingkat kecerdasan anak Tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan
anak normal, sedangkan anak Tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiot sampai
dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy
mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat
kecerdasan normal dan diatas normal. Sisanya bekercerdasan sedikit dibawah
rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan
hubungan secara langsung antara tingkat elainan fisik dan kecerdasan anak.
Artinya, anak Cerebral Palsy yang kelainannya berat, tidak berarti
kecerdasannya rendah. Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak Cerebral
Palsy juga mengalami kelainan persepsi, kongnisi dan simbolisasi. Kelainan
persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami
kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat
maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas
menerima dan menafsirkan serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan
kongnisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi
kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa serta akhirnya
anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang
terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori
(indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam
menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan
mempengaruhi prestasi akademiknya.
2. Karakteristik
Sosial/Emosional
Karakteristik
sosial/emosional anak Tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa
dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban bagi orang lain yang
mengakibatkan mereka malas belajar, bermin dan perilaku salah sesuai lainnya.
Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari
masyarakat akan merusak perkembangan peibadi anak. Kegiatan jasmani yang dapat
dilakukan oleh anak Tunadaksa dapat mengakibatkan timblnya problem emosi,
seperti mudah tersinggubg, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul,
pemalu, penyendiri dan frustasi. Problem emosi itu, banyak ditemukan pada anak
Tunadaksa dengan gangguan sistem Cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari
mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya.
3. Karakteristik
Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan
anak Tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan
mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran,
penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. kelainan tambahan itu banyak ditemukan
pada anak Tunadaksa sistem Cerebral. Ganguan bicara disebabkan oleh gangguan
motoric alat bicara (kaku atau lumpuh) seperti lidah, bibir dan rahang sehingga
mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya bicaranya tidak dapat
dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami
aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena oran reseptor anak
terganggu fungsinya, dan aphasiamotorik, yaitu mampu menangkap informasi dari
lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat
mengemukakannya lagi secara lisan. Anak Cerebral Palsy mengalami kerusakan pada
pyramidaltract dan extrapyramidal. Berfungsi mengatur sistem motoric. Tidak
heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan,
dan sulit berpindah tempat. Dilihat daei aktivitas motoric, intensitas
gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam,
gelisah, hipoaktif, yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang
merespon rangsangan yang diberikan, dan tidak ada koordinas, seperti waktu
berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkn integrasi gerak yang
lebih halus, seperti menulis, menggambar dan menari.
2.6 KEBUTUHAN PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA
1. Tujuan
Pendidikan Anak Tunadaksa bersifat ganda (Dual Purpose), yaitu:
1) Berhubungan
dengan aspek Rehabilitasi dan Pengembangan Fungsi Fisik, tujuannya adalah untuk
mengatasi permasalahan yang timbul sebagai akibat langsung atau tidak langsung
dari kecacatannya.
2) Berkaitan
dengan Pendidikan, tujuannya adalah untuk membantu menyiapkan peserta didik
agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi
maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan
kemampuannya dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (UU No.2
tahun 1989 tentang USPN dan PP No.72 tentang PLB).
Connor (1975)
mengemukakan sekurang-kurangnya tujuh aspek yang perlu dikembangkan pada diri
masing-masing anak Tunadaksa melalui pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan
Intelektual dan Akademik
b. Membantu
Perkembangan Fisik
c. Meningkatkan
Perkembangan Emosi dan Penerimaan Diri anak
d. Mematangkan
Aspek Sosial
e. Mematangkan
Moral dan Spiritual
f. Meningkatkan
Ekspresi Diri
g. Mempersiapkan
Masa Depan Anak
2. Prinsip
Dasar Program Pendidikan Anak Tunadaksa meliputi:
1) Keseluruhan
Anak (All The Children)
2) Kenyataan
(Reality)
3) Program
yang Dinamis (A Dynamic Program)
4) Kesempatan
yang sama (Equaliy of Opportunity)
5) Kerjasama (Cooperative)
3. Prinsip
Pendidikan anak Tunadaksa yang berbeda dengan anak normal, yaitu:
1) Prinsip
Multisensori
2) Prinsip
Individualisasi
4. Prinsip
Prinsip Belajar Mengajar:
1) Motivasi
2) Perhatian
5. Pembelajaran
di Sekolah
1) Perencanaan
Kegiatan Belajar Mengajar: Program Pendidikan yang di individualisasikan
2) Prinsip
Pembelajaran: Prinsip Multisensori dan Individualisasi
3) Penataan
Lingkungan Belajar: Bangunan gedung memprioritaskan tiga kemudahan: mudah
keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan mudah mengadakan penyesuaian
4) Personil:
Guru PLB, Guru Reguler, Dokter Ahli Anak, Dokter Rehabilitasi, Dokter Ahli
Orthopedi, Dokter Ahli Syaraf, Psikolog, Guru Bimbingan dan Konseling, Social Worker, Fisiotherapist,
Occupational Therapist, Speech Therapist,
Orthotic dan Prosthetic.
6. Pertimbangan
Penempatan Pendidikan
1) Tingkat
kemampuan Intelektual dan Kecacatan Fisik Anak
2) Kemampuan
mengadakan Penyesuaian Emosi
3) Lokasi
tempat tinggal dengan sekolah
4) Latar
belakang dan hubungan sosial dalam keluarga
7. Program
Penempatan Pendidikan
1) Munawir
Yusuf (Dalam JRR No. 5 TH2 April-Juni 1993) menggambarkan Program Penempatan
Pendidikaan Anak Luar Biasa pada umumnya, dan anak Tunadaksa pada khususnya ke
dalam beberapa kemungkinan, yang kesemuanya sangat tergantung pada kemampuan
dan ketidakmampuan anak dan lingkungannya, yaitu anak dapat ditempatkan:
a) Dikelas
biasa
b) Dikelas
biasa dengan tambahan Bimbingan Khusus oleh guru kelas
c) Dikelas
biasa sebagian hari
d) Dikelas
Khusus sebagian hari dan kelas regular untuk sebagaian hari yang lain
e) Dikelas
Khusus sepanjang hari, dan
f) Memperoleh
pelayanan pendidikan di tempat tinggal anak sepanjang waktu
g) Hal
tersebut menunjukkan bahwa hasil assesmen berguna untuk pembuatan program
penempatan pendidikan anak
2) Program
Layanan Rehabilitasi
Pendidikan bagi anak Tunadaksa yang edial, Lembaga
Pendidikannya memiliki beberapa tenaga ahli yang tergabung dan bekerja sebagai
suatu tim Rehabilitasi. Viola E. Cardwell (1963) memberikan gambaran anggota
tim Rehabilitasi di suatu lembaga yang mendidik anak Tunadaksa (yang ideal)
terdiri dari:
a) Physical
Therapist
b) Occupational
Therapist
c) Audiologist,
Speech and Hearing Therapist
d) Social
Worker AND Recreational Therapist
e) Psychologist
f) Teacher
of Special Education
g) Vocational
Counselor
h) Medical
Social Worker
i)
Nurce for Activity of Daily Living
j)
Kerja tim Rehabilitasi adalah mencakup
perencanaan Program, Pelaksanaan dan Evaluasi Program sesuai dengan bidang
keahlian masing-masing
k) Hasil
Assesmen yang dilakukan pada awal program, besar peranannya dalam pembuatan
keputusan untuk program rehabilitasi anak
8. Pengembangan
Program Pendidikan yang di Individualkan
Menurut
Ronaldl Taylor (1984), apabila penyandang cacat menerima pelayanan pendidikan
di sekolah formal, maka ia harus memperoleh pelayanan pendidikan yang
diindividualkan (IEP) atau PPI. Dalam rangka pengembangan IEP, banyak
informasi/data yang diperlukan, salah satunya adalah yang dihasilkan dari
kegiatan Assesmen.
Menurut
Mulyono (1993, Dalam JRR No. 5 TH.2 April-Juni 1993) langkah-langkah utama
dalam merancang suatu IEP meliputi:
1) Membentuk
Tim Penilai Program Pendidikan yang diindividualkan (TP3I)
2) Menulai
Kekuatan dan Kelemahan serta minat
3) Mengembangakan
tujuan-tujuan jangka panjang (Longrange or Annual Goals) dan sasaran-sasaran
jangka pendek (Short-Term Objectives)
4) Merancang
metode dan prosedur pencapaina tujuan,
5) Menentukan
metode evaluasi kemajuan.
9. Assesmen
Anak Tunadaksa
Yang
dimaksud dengan Assesmen adalah proses pengumpulan informasi/data tentang
penampilan individu yang relevan untuk pembuatan keputusan (Ronaldl. Taylor,
1984), baik yang dilakukan oleh guru umum (regular-education teacher), guru
pendidikan khusus, Psikolog Pendidikan, Spesialis, Terapis dan Personal lain
yang berkepentingan dengan program pendidikan anak.
Menurut
Ronaldl. Taylor, program-program di bidang pendidikan yang memerlukan informasi
dan harus disediakan melalui kegiatan Assesmen adalah:
1) Identitas
Anak
2) Program
dan Strategi Pengajaran
3) Tingkat
Keampuan dan Kebutuhan Pendidikan Anak
4) Klasifikasi
dan Program-Program Penempatan Anak
5) Perencanaan
pengajaran individual
Tujuan Assesmen bagi anak Tunadaksa, adalah untuk
mengenal dan memahami anak tuna daksa termasuk tentang kemampuan dan
ketidakmampuan anak baik fisik maupun mental dan lingkungannya. Kegunaan dari
hasil Assesmen adalah untuk:
a)Klasifikasi,
Identifikasi dan Data Dasar Anak
b) Pembuatan
keputusan program penempatan pendidikan anak
c)Pembuatan
Keputusan Program Rehabilitasi
d) Pengembangan
Program Pengajaran Individual
e)Arah
dan kegunaan hasil Assesmen adalah untuk uaha-usaha prevetif, kuratif dan
evaluative serta pengembangan anak Tunadaksa.
Aspek/Domain
yang menjadi obyek kegiatan Assesmen dalam Pendidkan anak Tunadaksa yaitu:
a)Identitas
anak Tunadaksa
b) Riwayat
anak, meliputi: riwayat pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan, kesehatan
c)Kondisi
dan Kemampuan Fisik anak, meliputi:
a. Keadaan
Fisik anak
b. Kemampuan
melakukan kegiatan sehri hari, seperti: kegiatan ditempat tidur, dengan kursi
roda, duduk dan berdiri, berjalan, berpergian, makan, berpakaian, perawatan
diri
c. Kemampuan
Koordinasi, meliputi: Koordinasi mata dengan tangan, mata dengan kaki
d) Kondisi
dan Kemampuan Psikis anak, meliputi:
a. Tingkat
Intelegensi
b. Sikap
dan Kehidupan Emosional
c. Kepribadian
Anak
d. Bakat,
Minat, Hobby, dan cita-cita
e)Aspek
Sosial, yang meliputi:
a. Identitas
dan Kondisi Keluarga
b. Sosialisasi
Anak
2.7 IMPLIKASI
PENDIDIKAN ANAK TUNADAKSA
Dalam
dunia Pendidikan pada prinsipnya guru mempunyai peranan ganda. Disatu pihak,
guru berfungsi sebagai pengajar, pendidik, dan pelatih bagi anak didik. Dipihak
lain, guru berfungsi sebagai pengganti orang tua murid di sekolah. Dengan
demikian secara tidak langsung mereka dituntut untuk menjadi manusia serba bisa
dan serba biasa, lebih-lebih bila dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan pada
saat ini, yaitu bahwa orang tua dan masyarakat pada umumnya masih mempunyai
anggapan yang keliru. Mereka berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya
pendidikan anak-anak mereka diserahkan sepenuhnya pada pihak sekolah, termasuk
disalamnya para guru, tanpa ikut campur mereka.
Keadaan
semacam ini lebih komplit lagi dalam dunia pendidikan untuk anak berkebutuhan
khusus karena subjek yang dihadapi memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu,
baik kemampuan fisik, mental, emosi maupun dalam usaha penyesuaian diri dengan
pihak luar atau lingkungan sekitar. Oleh karena itu tuga guru semakin berat
yang dituntut keahlian serta kterampilan tertentu, baik dalam bidang metodologi
yang bersifat khusus maupun dalam pelayanan terapi
Pelayanan terapi
yang diperlukan anak Tunadaksa antara lain:
a. Latihan
wicara (Speech Therapy)
b. Fisioterapi
c. Occupational Theraphy
d. Hydro
Theraphy
Anak
Tunadaksa pada dasarnya sama dengan anak-anak normal lainnya. Kesamaan tersebut
dapat dilihat dari fisik dan psiko-sosial. Dari segi fisik, mereka dapat makan,
minum, dan kebutuhan yang tidak dapat ditunda dalam beberapa menit yaitu
bernafas. Sedangkan dari aspek psiko-sosial, mereka memerlukan rasa aman dalam
bermobilisasi, perlu afiliasi, butuh kasih sayang dari orang lain, diterima dan
perlu pendidikan. Adapun unsur kesamaan kebutuhan antara anak Tunadaksa dan
anak normal, karena pada dasarnya mereka memiliki fitrah yang sama sebagai
manusia. Pandangan yang melihat anak Tunadaksa dan anak normal dari sudut
kesama anakan lebih memberikan laynan optimal untuk mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Ketimbang pandangan yang semata-mata mengekspos segi
kekurangannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang sering melihat orang lain
tentang kelemahannya, sehingga yang muncul adalah kritik atau cemoohan. Kiranya
demikian, andaikata kita melihat anak Tunadaksa semata-mata dari kecacatannya.
Oleh
karena itu, pandanagan yang mendahulukan sifat positif pada anak Tunadaksa
perlu dimasyarakatan supaya kesempatan perkembangan dirinya yang baik semakin
lebar. Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak Tunadaksa perlu
direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan masing-masing anak
Tunadaksa. Melalui pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan. Anak-anak
Tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang tidak selalu bergantung pada
orang tua dan masyarakat.
2.8 MODEL PELAYANAN PENDIDIKAN ANAK
TUNADAKSA
Sebagaimana diketahui, bahwa pendidikan bagi anak
tidak selalu harus berlangsung disuatu lembaga pendidikan khusus, sebab
sebagian dari mereka (anak Tunadaksa) pendidikannya dapat berlangsung di
sekolah di kelas regular/sekolah umum. Hal ini disebabkan oleh faktor kemampuan
dan ketidakmampuan anak Tunadaksa dan lingkungannya. Evelyn Deno (1970) dan
Ronald L Taylor (1984) menjelaskan sistem pendidikan bagi anak luar biasa
(termasuk anak Tunadaksa) yang bervariasi, mulai dari sistem pendidikan dikelas
dan sekolah regular/umum sampai pendidikan yang diberikan disuatu rumah sakit,
bahkan sampai pada bentuk layanan yang tidak memiliki makna edukasi sama
sekali, yakni layanana yang diberikan kepada anak-anak Tunadaksa dalam
perawatan medis dan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dari
kenyataan di lapangan bahwa anak Tunadaksa memiliki problem penyerta. Problem
penyerta ini berbeda-beda antara seorang anak Tunadaksa yang satu dengan anak
Tunadaksa yang lainnya, tergantung daripada penyebab ketunaannya, berat
ringannya ketunaannya. Atas dasar kondisi anak Tunadaksa tersebut, maka model
pelayanan pendidikannya dibagi pada “Sekolah Khusus” dan “Sekolah
Terpadu/Inklusi”.
1. Sekolah
Khusus
Pelayanan
pendidikan bagi anak Tunadaksa di sekolah khusus ini diperuntukkan bagi anak
yang memiliki problema lebih berat, baik problema penyerta intelektualnya
seperti retardasi mental maupun problema penyerta kesulitan lokomosi (gerakan) dan
emosinya. Di sekolah khusus ini pelayanan pendidikannya dibagi menjadi dua
unit, yaitu unit sekolah khusus bagi anak Tunadaksa ringan dan unit sekolah
khusus bagi anak Tunadaksa sedang.
a. Sekolah
Khusus untuk anak Tunadaksa Ringan (SLB-D)
Pelayanan
pendidikan di unit Tunadaksa rigan atau SLB-D diperlukan bagi anak Tunadaksa
yang tidak mempunyai problem penyerta retardasi mental, yaitu anak Tunadaksa
yang mempunyai intelektual rata-rata atau bahkan diatas rata-rata intelektual
anak normal. Namun anak kelompok ini belu ditempatkan di sekolah terpadu/
sekolah umum karena anak masih memerlukan terapi-terapi, seperti fisioterapi,
speech theraphy, occupational theraphy dan atau terapi yang lain. dapat juga
terjadi anak Tunadaksa tidak ditempatkan di sekolah regular karena derajat
kecacatannya terlalu berat
b. Sekolah
Khusus untuk anak Tunadaksa Sedang (SLB-D1)
Pelayanan
pendidikan di unit ini, diperuntukkan bagi anak Tunadaksa yang mempunyai
problem seperti emosi, persepsi atau campuran dari ketiganya disertai problema
penyerta retardasi mental. Kelompok anak Tunadaksa sedang ini mempunyai
intelektual di bawah rata-rata anak normal.
2. Sekolah
Terpadu/Inklusi
Bagi anak Tunadaksa
dengan problem penyerta relatif ringan, dan tidak disertai dengan problem
penyerta retardasi mental akan sangat baik jika sedini mungkin pelayanan
pendidikannya disatukan dengan anak-anak normal lainnya di sekolah regular/
sekolah umum. Karena anak Tunadaksa tersebut sudah dapat mengatasi problem
fisik maupun intelektual serta emosionalnya. Namun walaupun kondisi penyerta
anak Tunadaksa cukup ringan, sekolah regular yang ditunjuk untuk melayani
pendidikannya perlu persiapan yang matangterlebih dahulu, baik persiapan sarana
maupun prasarananya. Seperti persiapan aksesibilitas misalnya meminimalkan
trap-trap atau tangga-tangga. Jika memungkinkan dibuatkan ramp-ramp untuk akses
kursi roda, atau bagi anak yang khusus menggunakan alat bantu jalan lainnya
seperti kruk atau wolker. Bentuk meja atau kursi belajar disesuaikan dengan
kondisi anak. Hal demikian memerlukan persiapan yang lebih terencana, sehingga
tidak menimbulkan problem tambahan bagi anak Tunadaksa. Juga bentuk toilet,
kloset harus dapat dipergunakan bagi anak yang menggunakan kursi roda.
Disamping itu sistem guru kunkung dapat membantu memecahkan permasalahan yang
mungkin timbul pada anak Tunadaksa di kemudian hari.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tunadaksa adalah mereka yang mengalami kelainan dari
segi fisik atau hilangnya salah satu anggota tubuh atau memiliki kekakuan atau
kelumpuhan dalam melakukan gerakan baik tulang, otot, dan atau persendian
sehingga menghambat mereka dalam beraktivitas. Pada dasarnya kelainan pada anak
Tunadaksa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada
sistem serebral (Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka
(Musculus Skeletal System). Pendidikan yang juga merupakan kebutuhan anak
Tunadaksa perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan mengacu pada kemampuan
masing-masing anak Tunadaksa. Melalui pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Anak-anak Tunadaksa diharapkan memiliki masa depan yang
tidak selalu bergantung pada orang tua dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardja,
Djaja dan Sujarwanto. 2010. “Pengantar
Pendidikan Luar Biasa”. Surabaya: UD. Mapan
Soemantri, Sutjihati. 1996. “Psikologi Anak Luar Biasa”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
http://library.gunadarma.ac.id/repository/files diunduh pada 4 Juni 2015 pukul 20.37