Operasionalisasi Layanan Konsultasi (L-KSL)
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah layanan konsiasi yang diampu oleh Dwi Dasalinda, M.Pd
Disusun Oleh :
Dyah Eko Susilowati (1301015040)
Mike Andrian Tika (1301015083)
Siti Nurvia (1301015127)
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Penulis
mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, dengan segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah yang merupakan tugas yang
diberikan oleh dosen pembimbing Mata Kuliah Layanan Konsiasi.
Ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada Dwi Dasalinda, M.Pd selaku Dosen Pembimbing
Mata Kuliah Layanan Konsiasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Prof. Dr Hamka Jakarta, yang telah membimbing penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Terima
kasih penulis sampaikan pula kepada orang tua penulis, yang dalam kerinduan
selalu memberi motivasi belajar kepada penulis, juga tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang memberikan semangatnya.
Penulis
menyadari bahwa penyusunan penulisan ini sangat sederhana dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan penulisan ini.
Jakarta,
19 Maret 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah merupakan lembaga formal yang secara khusus dibentuk untuk
menyelenggarakan pendidikan bagi warga masyarakat. Arah pembentukan lembaga ini
yaitu memberikan kemudahan pencapaian perkembangan yang optimal terhadap peserta
didik. Untuk mencapai perkembangan diri yang optimal, dalam kelembagaan sekolah
diwujudkan dengan adanya bidang pelayanan pendidikan, salah satunya adalah
pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) di Sekolah. Hal tersebut diperkuat
dengan adanya penjelasan dari Prayitno dan Amti (2004:114), bahwa:
“Tujuan umum bimbingan dan konseling adalah untuk membantu individu
memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan
predisposisi yang dimilikinya (seperti kemampuan dasar dan bakat-bakatnya),
berbagai latar belakang yang ada (seperti latar belakang keluarga, pendidikan,
status sosial ekonomi),serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya.”
“Sejak tahun 1993 penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK)
di sekolah memperoleh perbendaharaan istilah baru, yaitu BK Pola-17” (Prayitno,
2004). BK Pola-17 merupakan pola dasar dalam BK yang di laksanakan di
lingkungan sekolah. Pola ini meliputi empat bidang bimbingan, tujuh layanan BK,
dan lima kegiatan pendukung BK. Dengan berkembangnya zaman, pada abad ke-21 BK
Pola-17 berkembang menjadi BK Pola-17 Plus.
Hal ini dikarenakan adanya pengembangan sasaran pelayanan BK yang lebih luas.
Butir-butir pokok BK Pola-17 Plus meliputi
keterpaduan mantap tentang pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas, serta
landasan BK; enam bidang pelayanan BK; sembilan jenis layanan BK; enam kegiatan
pendukung BK; serta format pelayanan yang mencakup format individual, kelompok,
klasikal, lapangan, dan politik.
BK Pola-17 Plus menjadi bidang
tugas bagi konselor sekolah dalam pelayanan konseling. Salah satu jenis layanan
pada BK Pola-17 plus adalah layanan
konsultasi. Layanan konsultasi dalam BK Pola-17 plus merupakan pengembangan dari layanan pada BK Pola-17 plus. Layanan
konsultasi merupakan hal yang baru bagi BK di Sekolah, khususnya bagi konselor
sekolah. Untuk itu konselor perlu pemahaman yang mendalam tentang layanan
konsultasi agar tercapainya keberhasilan pelaksanaan layanan.
Penyelenggaraan layanan konsultasi sebagai fungsi pengentasan, yaitu
mengentaskan masalah yang dialami pihak ketiga. Layanan konsultasi merupakan
bentuk dari layanan responsif yang menurut Zein bahwa tujuan layanan ini adalah
membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya. Dalam hal
ini, penyelesaian masalah yang dialami oleh peserta didik dilakukan oleh
konsulti setelah melakukan konsultasi dengan konsultan/ konselor sekolah.
Dilakukan oleh konsulti dengan alasan bahwa peserta didik mempunyai hubungan
yang cukup berarti dengan konsulti, sehingga permasalahan yang dialami oleh
peserta didik itu setidaknya sebagian menjadi tanggung jawab konsulti.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Perencanaan Layanan Konsultasi?
2.
Bagaimana Pelaksanaan Layanan Konsultsi?
3.
Bagaimana Evaluasi Layanan Konsultasi?
4.
Bagaimana Analisis Hasil Evaluasi Layanan
Konsultasi?
5.
Bagaimana Tindak Lanjut Layanan Konsultasi?
6.
Bagaimana
Laporan Layanan Konsultasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Operasionalisasi Layanan Konsultasi
(L-KSL)
Layanan konsultasi merupakan suatu
proses, sehingga dalam pelaksanaannya menempuh tahap-tahap tertentu.
Tahap-tahap pelaksanaan konsultasi hendaklah dilaksanakan secara tertib dan
lengkap, dari perencanaan sampai dengan penilaian dan tindak lanjutnya. Hal ini
semua untuk menjamin kesuksesan layanan secara optimal. Langkah-langkah
tersebut menurut Prayitno (2004: 30-31) adalah sebagai berikut:
Langkah-langkah layanan konsultasi
dijelaskan sebagai berikut:
A.
Perencanaan
Langkah awal sebelum pelaksanaan layanan, terlebih
dahulu konselor melakukan perencanaan. Perencanaan dimaksudkan untuk
mempermudah proses pelaksanaan. Perencanaan layanan konsultasi meliputi:
a. Mengidentifikasi
konsulti.
Layanan
konsultasi melibatkan pihak yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang
dialami pihak ketiga/ konseli. Pihak terkait inilah yang disebut konsulti. Pada
pelayanan Bimbingan dan Konseling khususnya di sekolah, pihak yang disebut
sebagai konsulti adalah sesama konselor, guru bidang studi atau wali kelas,
pejabat struktural, orang tua atau saudara dari siswa, dan petugas
administrator.
Dalam
mengidentifikasi konsulti, tindakan dari seorang konselor adalah mengenal
konsulti dengan maksud memperoleh data yang dibutuhkan konselor. Identifikasi
dapat dilakukan dengan wawancara dan rapport. ”Rapport adalah suatu hubungan
(relationship) yang ditandai dengan keharmonisan, kesesuaian, kecocokan, dan
saling tarik menarik” (Willis, 2004: 46). Untuk menciptakan rapport, konselor
harus memiliki sikap empati, mampu membaca perilaku nonverbal, bersikap akrab
dan berniat memberikan bantuan tanpa pamrih.
b. Mengatur
pertemuan
Mengatur
pertemuan atau melakukan kontrak yang artinya perjanjian antara konselor dengan
konsulti. Sebagaimana dalam pelaksanaan konseling perorangan, terjadi kesepakatan
kontrak waktu dan tempat pelaksanaan layanan konsultasi. Penyelenggaraan
layanan konsultasi sangat tergantung pada kesepakatan antara konselor dan
konsulti. Kesepakatan tersebut dimaksudkan untuk kenyamanan dan jaminan
kerahasiaan proses konsultasi.
c. Menetapkan
fasilitas layanan
Fasilitas
dalam layanan konsultasi adalah segala sesuatu yang menunjang pelaksanaan
layanan konsultasi. Fasilitas yang ditetapkan tersebut misalnya tempat
konsultasi yang menimbulkan perasaan nyaman, buku agenda konselor yang berisi
janji pertemuan dengan konsulti, alat perekam yang tidak diketahui oleh
konsulti.
d. Menyiapkan kelengkapan administrasi
Sebelum
konselor dan konsulti melakukan layanan konsultasi, maka perlu adanya kesiapan
kelengkapan administrasi layanan. Adanya pengadministrasian dimaksudkan agar
terdapat bukti adanya pelaksanaan layanan konsultasi. Misalnya konselor
menyiapkan buku catatan hasil wawancara dengan konsulti, terdapat jurnal harian
pelaksanaan layanan.
B.
Pelaksanaan
Pelaksanaan merupakan bagian inti dari layanan
konsultasi. ”Pada tahap pelaksanaan, pernyataan masalah diungkapkan, hubungan
konsultan dan peranannya dirumuskan dan peraturan pokok dikembangkan” (Marsudi,
2003: 125). Pada layanan konsultasi, proses layanan dilakukan dua tahap. Yaitu
pertama proses konsultasi antara konselor dan konsulti, dan yang kedua proses
penanganan oleh konsulti terhadap pihak ketiga yang memiliki masalah. Secara
jelas tahap ini meliputi:
a. Menerima
konsulti
Penerimaan
konsulti oleh konselor sangat mempengaruhi perkembangan proses layanan
konsultasi selanjutnya. Hal ini dikarenakan alasan bahwa dengan penerimaan yang
baik oleh konselor, maka akan membuat kenyamanan konsulti dan pada akhirnya
membantu kelancaran layanan konsultasi. Menurut Winkel (2005: 473) menyebutkan
bahwa ”bila bertemu dengan konseli untuk pertama kali: menyambut kedatangan
konseli dengan sikap ramah, misalnya berjabatan tangan, mempersilakan duduk,
dan menyisihkan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya”. Demikian halnya
yang dilakukan oleh konselor terhadap konsulti bahwa konselor bersikap menerima
konsulti baik secara verbal maupun non verbal. Semua hal itu dilakukan dengan
tujuan berpengaruh terhadap keberhasilan layanan.
Menerima
konseli secara verbal merupakan tanggapan verbal konselor yang diwujudkan dalam
bentuk pernyataan atau ungkapan verbal secara sopan dan santun. Misalnya
menerima konsulti dengan ucapan selamat siang pada awal konsultasi, menggunakan
pertanyaan yang tidak menyinggung perasaan, tidak berlebih dalam berbicara, dan
sebagainya. Penerimaan non verbal merupakan reaksi atau tanggapan yang
dibedakan dari berbahasa dengan memakai kata-kata, misalnya eksprasi wajah,
sikap tubuh, anggukan kepala, dan sebagainya.
b. Menyelenggarakan penstrukturan konsultasi
Penstrukturan
layanan konsultasi diperlukan untuk membawa konsulti mulai memasuki layanan
konsultasi. Bagi konsulti yang baru pertama kali melakukan layanan konsultasi,
maka diperlukan penstrukturan secara keseluruhan. Untuk memulai proses
konultasi, terlebih dahulu diawali dengan wawancara permulaan. Menurut Tyler
(dalam Gunarsa, 2007: 93) mengemukakan bahwa:
Dari
sudut konselor ada tiga tujuan pada wawancara permulaan dalam kaitan dengan
proses konseling ialah: (1) menimbulkan suasana bahwa proses konseling dimulai,
(2) membuka aspek-aspek psikis pada diri klien seperti kehidupan perasaan dan
sikapnya, (3) menjelaskan struktur mengenai proses bantuan yang akan diberikan.
Terdapat
tiga teknik dasar strukturing atau pembatasan diantaranya pembatasan pada lama
pertemuan, pembatasan masalah yang dibahas, dan pembatasan pada peran
masing-masing konselor atau konsulti. Pada layanan konsultasi, terdapat
penyelenggaraan
penstukturan konsultasi yang
harus dipahami oleh konselor dan konsulti. Penstrukturan ini diperlukan
dengan tujuan agar terjadi kejelasan arah konsultasi yaitu dengan adanya
pemahaman tentang pembatasan waktu konsultasi, pembatasan masalah apa yang
dibahas, dan peranan keduanya akan membantu melancarkan kesuksesan layanan
konsultasi.
c. Membahas
masalah yang dibawa konsulti berkenaan dengan pihak ketiga
Seperti
untuk layanan konseling perorangan, materi yang dibahas dalam layanan
konsultasi tidak dapat ditetapkan terlebih dahulu oleh konselor, melainkan akan
dikemukakan oleh konsulti ketika layanan berlangsung” (BSNP, 2006: 24). Masalah
yang dibahas oleh konsulti adalah masalah yang dialami oleh pihak ketiga, baik
itu permasalahan pribadi, sosial, belajar atau karir.
d. Mendorong
dan melatih konsulti untuk :
(1) Mampu
menangani masalah yang dialami pihak ketiga.
Tugas
konselor sebagai konsultan adalah membekali konsulti memperoleh WPKNS konsulti
(wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap) agar dapat bertindak
membantu penyelesaian masalah pihak ketiga. WPKNS konsulti diuraikan sebagai
berikut:
a. Wawasan.
Meliputi
wawasan konsulti tentang diri pihak ketiga, permasalahan pihak ketiga, dan
lingkungan pihak ketiga. Wawasan yang dipahami oleh konsulti terhadap pihak
ketiga, sejalan dengan fungsi pemahaman Bimbingan dan Konseling. Seperti yang
diungkapkan oleh Mugiarso (2004: 28) bahwa ”pemahaman yang sangat perlu
dihasilkan oleh pelayanan bimbingan
dan konseling adalah
pemahaman tentang diri
klien beserta permasalahannya oleh klien sendiri dan oleh pihak-pihak
lain yang membantu klien, termasuk juga pemahaman tentang lingkungan diri
klien”.
b. Pengetahuan.
Yaitu
konsulti perlu memiliki pengetahuan tentang diri pihak ketiga, permasalahan
pihak ketiga, ataupun lingkungan pihak ketiga yang pembahasannya dikaitkan
dengan kaidah pendidikan, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, dll.
c. Keterampilan.
Konsulti
perlu menguasai berbagai keterampilan yang disesuaikan dengan permasalahan yang
dialami pihak ketiga. Menurut Prayitno
(2004: 19) bahwa ”Keterampilan yang perlu dikuasai konsulti dan
diterapkan terhadap pihak ketiga adalah aplikasi alat-alat pendidikan, tiga-m,
pertanyaan terbuka, dorongan minimal, refleksi, serta teknik khusus pengubahan
tingkah laku, seperti pemberian informasi dan contoh, latihan sederhana, dan
pemberian nasihat secara tepat”.
d. Nilai.
Konsultan
perlu mengembangkan nilai-nilai pada diri konsulti dengan tujuan agar konsulti
juga dapat memandang pihak ketiga berdasarkan nilai- nilai di kehidupan
masyarakat. Misalnya nilai kemanusiaan, nilai sosial, nilai moral, dan lain
sebagainya.
e. Sikap.
Sikap
merupakan suatu respon yang dihasilkan dari stimulus. Seorang konsulti pada
layanan konsultasi perlu mengembangkan sikap positif dan dinamis (developmental) terhadap diri
pihak ketiga dan permasalahan yang dialami oleh pihak ketiga itu. Dengan adanya
nilai dan sikap tersebut, diharapkan hubungan konsulti dan pihak ketiga semakin
kondusif.
(2) Memanfaatkan
sumber-sumber yang ada
Konsulti
dalam membantu penyelesaian masalah pihak ketiga dapat memanfaatkan berbagai
sumber bantuan. Pengumpulan informasi-informasi mengenai pihak ketiga dapat
diperoleh dari pihak ketiga itu sendiri ataupun lingkungan dekat pihak ketiga,
misalnya keluarga, teman bermain, lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat,
bahkan diperoleh dari media cetak atau elektronik. Pemberian informasi dari
pihak yang terkait dengan pihak ketiga tersebut dikumpulkan dengan alasan untuk
membantu menjelaskan masalah dan juga membantu tercapainya penyelesaian masalah
pihak ketiga.
a. Membina
komitmen konsulti untuk menangani masalah pihak ketiga dengan bahasa dan
cara-cara konseling
Pada
proses konsultasi, konselor mengembangkan WPKNS (wawasan, pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan sikap) konsulti terkait dengan penyelesaian masalah
pihak ketiga. Tugas konselor selanjutnya adalah melakukan persetujuan dengan
konsulti agar konsulti bersedia membantu penyelesaian masalah pihak ketiga.
Langkah penyelesaian masalah pihak ketiga dilakukan oleh konsulti dengan
menggunakan bahasa dan cara-cara konseling yang telah diperoleh konsulti dari
pengembangan WPKNS nya. Dapat dikatakan bahwa konsulti bukanlah menjadi seorang
konselor. Hal yang dimaksudkan konsulti dapat menggunakan bahasa dan cara-cara
konseling, misalnya konsulti dapat menggunakan
pertanyaan terbuka kepada
pihak ketiga, konsulti
melakukan penerimaan pihak ketiga dengan
bahasa verbal dan
non verbal, dalam hal mengambil keputusan, dan lain-lain.
Penanganan
pihak ketiga oleh konsulti tidak terlepas dari pantauan dari konselor. Pada
tahap ini bisa terjadi kemungkinan alternatif pemecahan masalah pihak ketiga
gagal dilakukan oleh konsulti, sehingga perlu dilakukan kembali atau dengan
intervensi yang berbeda. Penghentian layanan konsultasi tidak berbeda dengan
layanan konseling perorangan. ”Menghentikan konseling (terminasi) bisa
dilakukan untuk sementara dan selama itu konseli masih bisa berhubungan kembali
kalau dibutuhkan atau dihentikan sama sekali karena tujuan konseling sudah
tercapai” (Gunarsa, 2007: 99).
b. Melakukan
penilaian segera
Akhir
setiap kegiatan layanan terdapat adanya suatu penilaian layanan. Penilaian dilakukan
untuk mengetahui seberapa besar keberhasilan yang telah dicapai dari proses
pelaksanaan layanan. Terhadap hasil layanan konsultasi perlu dilaksanakan tiga
jenis penilaian, yaitu penilaian segera (laiseg), penilaian jangka pendek
(laijapen), dan penilaian jangka panjang (laijapang).
Penilaian
segera dari layanan konsultasi dilaksanakan pada akhir setiap konsultasi yang
dilakukan oleh konselor dan konsulti. Fokus penilaian segera layanan konsultasi
adalah menilai diri konsulti berkenaan dengan ranah Understanding, Comfort, dan Action (UCA). Ketiganya dijelaskan
sebagai berikut:
(1)
Understanding
– U
Tahap
pertama pada layanan konsultasi adalah proses konsultasi antara
konselor/konsultan dengan konsulti. Hasil dari tahap ini salah satunya adalah
adanya pemahaman baru yang diperoleh konsulti. Pemahaman konsulti meliputi
pemahaman tentang WPKNS nya, pemahaman permasalahan pihak ketiga yang dibahas,
penyebab munculnya permasalahan, sampai pada pemahaman konsulti tentang langkah
penanganan yang telah diajarkan konselor.
(2)
Comfort
– C
Selain
menilai pemahaman konsulti pada proses konsultasi, konselor juga menilai
perasaan yang berkembang pada diri konsulti. Pada penilaian segera ini,
konselor menanyakan apakah konsulti merasa terbebani atau ketidaknyamanan
terhadap konsultasi yang dilakukan atau terjadi sebaliknya.
(3)
Action
– A
Setelah
menilai tentang pemahaman dan perasaan konsulti, menilai kegiatan apa yang akan
dilaksanakan konsulti setelah proses konsultasi selesai perlu dilakukan oleh
konselor. Penilaian segera tentang action dilakukan dengan cara menanyakan
kepada konsulti tentang rencana kegiatan apa yang akan dilaksanakan pasca
konsultasi dalam rangka mewujudkan upaya pengentasan masalah yang dialami pihak
ketiga.
C.
Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan pada layanan konsultasi
adalah melakukan evaluasi jangka pendek tentang keterlaksanaan hasil
konsultasi. Laijapen dilakukan setelah konsulti memberikan penanganan kepada
pihak ketiga (tahap penanganan).
Penilaian jangka pendek mengacu pada bagaimana konsulti melakukan unsur
kegiatan atau action dari hasil proses konsultasi. Sasaran laijapen ini adalah
respon atau dampak awal pihak ketiga terhadap tindakan penanganan yang
dilakukan oleh konsulti. Dengan demikian konsulti juga terlebih dahulu telah
dilatih oleh konselor agar dapat melakukan penilaian segera kepada pihak
ketiga.
Pada penilaian jangka panjang
(laijapang) yang menjadi fokusnya adalah terjadi perubahan pada diri pihak
ketiga. Perubahan yang dimaksudkan adalah yang berkaitan dengan permasalahan
yang sejak awal dikonsultasikan. Untuk melihat ada tidaknya perubahan pada diri
pihak ketiga, maka konsulti juga dibekali konsultan agar dapat melakukan
penilaian kepada pihak ketiga.
D.
Analisis
Hasil Evaluasi
Analisis hasil evaluasi yaitu menafsirkan hasil
evaluasi dalam kaitannya dengan diri pihak ketiga dan konsulti sendiri. Tujuan
utama dari analisis hasil evaluasi layanan konsultasi adalh untuk
mempertimbangkan upaya tindak lanjut yang akan dilakukan sesuai dengan
penanganan masalah pihak ketiga. Hubungan konsulti dengan konsultan tidak
kontinu, tetapi efek dari proses diharapkan kontinu. ”Putusan dibuat untuk
menunda aktivitas, mendesain kembali dan melaksanakan ulang atau berhenti
secara penuh” (Marsudi, 2003: 126).
E.
Tindak
Lanjut
Hasil penilaian digunakan sebagai pertimbangan
tindak lanjut yang dapat dilakukan dengan konsultasi lanjutan, penghentian atau
alih tangan (refferal). Konsultasi lanjutan dilakukan berdasarkan kesepakatan
kembali antara konsulti dan konsultan.
Konsultasi ini diperlukan jika tahap penanganan dikatakan belum berhasil.
Tingkah laku pihak ketiga yang diharapkan oleh konsulti belum tercapai dan
konsulti merasa perlu untuk mengulang kembali penanganan kepada pihak ketiga
yang bermasalah.
Penghentian layanan konsultasi tidak berbeda dengan
layanan konseling perorangan. ”Menghentikan konseling (terminasi) bisa
dilakukan untuk sementara dan selama itu klien masih bisa berhubungan kembali
kalau dibutuhkan atau dihentikan sama sekali karena tujuan konseling sudah
tercapai” (Gunarsa, 2007: 99). Jika diperlukan, alih tangan atau refferal juga
merupakan bentuk tindak lanjut yang dapat dilakukan.
F.
Laporan
Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah
membicarakan laporan yang diperlukan oleh pihak peserta layanan konsultasi yaitu
konsulti dan mendokumentasikan laporan. Hasil akhir layanan yang dilatar
belakangi oleh kajian menyeluruh proses layanan merupakan isi laporan
pelaksanaan program. Dokumen laporan dapat merupakan laporan yang diperlukan oleh
konsulti, disamping merupakan dokumen bagi konselor sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Layanan konsultasi merupakan suatu
proses, sehingga dalam pelaksanaannya menempuh tahap-tahap tertentu.
Tahap-tahap pelaksanaan konsultasi hendaklah dilaksanakan secara tertib dan
lengkap. Hal ini semua untuk menjamin kesuksesan layanan secara optimal.
Adapun operasionalisasi layanan
konsultasi meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, analisis hasil
evaluasi, tindak lanjut dan penyusunan laporan.
B.
Saran
Sebagai salah satu jenis layanan dalam
bimbingan dan konseling tentunya layanan konsultasi membutuhkan
profesionalisasi konselor dalam melaksanakan layanannya. Selain itu, kerjasama
yang baik pun dibutuhkan untuk mendukung optimalisasi layanan ini, baik dari
stake holder lainnya maupun dari konseli itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno.
2012. “Jenis Layanan dan Kegiatan
Pendukung Konseling”. Padang: Universitas Negeri Padang.